Rabu, 27 November 2013
sejarah aksara jawa
Ya,
Aksara Legena merupakan aksara Jawa pokok yang jumlahnya 20 buah.
Sebagai pendamping, setiap suku kata tersebut mempunyai pasangan, yakni
kata yang berfungsi untuk mengikuti suku kata mati atau tertutup,
dengan suku kata berikutnya, kecuali suku kata yang tertutup oleh wignyan, cecak dan layar.
Tulisan Jawa bersifat Silabik atau merupakan suku kata. Sebagai
tambahan, di dalam aksara Jawa juga dikenal huruf kapital yang dinamakan
Aksara Murda. Penggunaannya untuk menulis nama gelar, nama diri, nama
geografi, dan nama lembaga.
Aksara
Jawa ternyata juga mengalami peralihan. Ada Aksara Jawa Kuno dan
Aksara Jawa baru. Namun sulit untuk mengetahui secara pasti kapan masa
lahir, masa jaya, dan masa peralihan aksara Jawa kuno dan aksara Jawa
baru. "Sangat sulit menemukan kapan lahir ataupun peralihannya.
Dikarenakan juga masih sedikit orang yang melakukan penelitian tentang
hal ini," jelas Dra. Sri Ratna Sakti Mulya, M. Hum, Dosen Sastra Jawa
UGM. Diprediksi Aksara Jawa Kuno ada pada jaman Mataram Kuno. Aksara
Jawa Kuno juga mirip dengan Aksara Kawi. "Jika mau diurut-urutkan,
sejarah Aksara Jawa ini berasal dari cerita Aji Saka dan Dewata
Cengkar," tambahnya.
Dari
penulisannya pada jaman dahulu pun, ternyata Aksara Jawa dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu aksara yang ditulis oleh orang-orang Kraton
dan aksara yang ditulis oleh masyarakat biasa - lebih dikenal dengan
sebutan Aksara Pesisir. Aksara Kraton mempunyai bentuk yang jauh lebih
rapi. Aksara-aksaranya ditulis dengan jelas dan rapi, serta naskah
sering dihiasi dengan gambar ornamen-ornamen yang mempunyai arti
tersembunyi. "Setiap gambar yang menghiasi halaman naskah, mempunyai
arti dan maknanya masing-masing. Kadang juga dihiasi dengan tinta emas
asli. Dan ini semuanya adalah tulisan tangan," jelas Bapak Rimawan,
Abdi Dalem yang membantu mengelola Perpustakaan Pakualaman. Sedangkan
aksara Pesisir, penulisannya kurang rapi.
Sebagai
salah satu cara pelestarian, banyak koleksi naskah aksara Jawa sejak
jaman dahulu tersimpan rapi di Perpustakaan Pakualaman dan Perpustakaan
Kraton. Perpustakaan Pakualaman menyimpan sekitar 251 naskah kuno yang
dikumpulkan mulai sejak masa Pakualam I hingga Pakualam VII.
Aksara
Jawa sudah mendapat pengakuan resmi dari Unicode, lembaga di bawah
naungan UNESCO. Pengakuan ini diberikan pada 2 Oktober 2009, bersamaan
dengan penetapan batik sebagai warisan budaya tak benda Indonesia
oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Dengan pengakuan itu, kini aksara
Jawa bisa dipakai untuk komputer yang setara dengan huruf lain di dunia
yang telah digunakan dalam komputer, seperti Latin, Cina, Arab, dan
Jepang.
Pengakuan
tersebut diberikan setelah Ki Demang Sokowaten dari Yogyakarta pada 9
September 2007 silam mendaftarkannya ke Unicode. Banyak keuntungan
bagi Indonesia apabila aksara Jawa diakui UNESCO sebagai simbol salah
satu bahasa ibu di dunia, diantaranya: terlindungi dari ancaman
kepunahan, melindungi dan melestarikan sendi-sendi kebudayaan aksara
Jawa, serta tidak bisa dicuri atau diklaim pihak manapun.
Aksara
Jawa Hanacaraka atau yang dikenal dengan nama Carakan termasuk ke
dalam kelompok turunan aksara Brahmi, yang digunakan atau pernah
digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Madura,
bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Sasak. Aksara Brahmi sendiri
merupakan turunan dari aksara Assyiria.
Aksara
Jawa modern adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida.
Hal ini bisa dilihat dari struktur masing-masing huruf yang paling
tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai
contoh aksara Ha mewakili dua huruf yakni H dan A, dan merupakan satu
suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “hari”. Aksara Na
mewakili dua huruf, yakni N dan A, dan merupakan satu suku kata yang
utuh bila dibandingkan dengan kata “nabi”. Dengan demikian, terdapat
penyingkatan cacah huruf dalam suatu penulisan kata apabila
dibandingkan dengan penulisan aksara latin.
Pada
bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis menggantung (di
bawah garis), seperti aksara Hindi. Namun demikian, pengajaran modern
sekarang menuliskannya di atas garis.
Aksara
Jawa Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang
berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf “utama” (aksara murda, ada yang
tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf
vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa
sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa
tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan.
1. Huruf Dasar (Aksara Nglegena)
Pada aksara Jawa Hanacaraka baku terdapat 20 huruf dasar (aksara nglegena), yang biasa diurutkan menjadi suatu “cerita pendek”:
* ha na ca ra ka
* da ta sa wa la
* pa dha ([dha]) ja ya nya ([ɲa])
* ma ga ba tha ([ʈa]) nga ([ŋa])
* da ta sa wa la
* pa dha ([dha]) ja ya nya ([ɲa])
* ma ga ba tha ([ʈa]) nga ([ŋa])
2. Huruf Pasangan (Aksara Pasangan)
Pasangan
dipakai untuk menekan vokal konsonan di depannya. Sebagai contoh,
untuk menuliskan mangan sega akan diperlukan pasangan untuk “se” agar
“n” pada mangan tidak bersuara. Tanpa pasangan “s” tulisan akan
terbaca manganasega.
Tatacara penulisan Jawa Hanacaraka tidak mengenal spasi, sehingga penggunaan pasangan dapat memperjelas kluster kata.
3. Huruf Utama (Aksara Murda)
4. Huruf Vokal Mandiri (Aksara Swara)
5. Huruf Tambahan (Aksara rèkan)
6. Huruf Vokal Tidak Mandiri (Sandhangan)
7. Tanda Baca (Pratandha)
Gaya Penulisan (Style, Gagrag) Aksara Jawa
a. Berdasarkan bentuk aksara dibagi menjadi 3, yakni:
1. Ngetumbar
2. Mbata Sarimbag
3. Mucuk Eri
b. Berdasarkan daerah asal Pujangga/Manuskrip, dikenal gaya penulisan aksara Jawa:
* Yogjakarta
* Surakarta
* Surakarta
Penggunaan
(pengejaan) Hanacaraka pertama kali dilokakaryakan pada tahun 1926
untuk menyeragamkan tata cara penulisan aksara ini. Pertemuan pertama
menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang memberi
landasan dasar bagi pengejaan tulisan. Nama Sriwedari digunakan karena
loka karya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta. Salah satu
perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-tarung
bagi bunyi /o/. Alih-alih penulisan ejaan baru menjadi bentuk
Ronggawarsita -bentuk ini banyak dipakai pada naskah-naskah abad
ke-19- dengan mengurangi penggunaan taling-tarung.
Modifikasi
ejaan baru dilakukan lagi tujuh puluh tahun kemudian, seiring dengan
keprihatinan para ahli mengenai turunnya minat generasi baru dalam
mempelajari tulisan Hanacaraka. Kemudian dikeluarkanlah Surat
Keputusan Bersama (SKB) tiga gubernur (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan
Jawa Timur) pada tahun 1996 yang berusaha menyelaraskan tata cara
penulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah di ketiga provinsi
tersebut.
Tonggak
perubahan lainnya adalah aturan yang dikeluarkan pada Kongres Basa
Jawa III 15-21 Juli 2001 di Yogyakarta. Kongres ini menghasilkan
perubahan beberapa penyederhanaan penulisan bentuk-bentuk gabungan
(kata dasar + imbuhan).
Ada
sedikit perbedaan dalam Cacarakan Sunda dimana aksara “Nya”
dituliskan dengan menggunakan aksara “Na” yang mendapat pasangan “Nya”.
Sedangkan Aksara “Da” dan “Tha” tidak digunakan dalam Cacarakan
Sunda. Juga ada penambahan aksara Vokal Mandiri “É” dan “Eu”,
sandhangan “eu” dan “tolong”.
Integrasi Aksara Jawa Hanacaraka ke dalam Sistem Informasi Komputer.
Usaha-usaha
untuk mengintegrasikan aksara ini ke sistem informasi elektronik
telah dilakukan sejak 1983 oleh peneliti dari Universitas Leiden
(dipimpin Willem Van Molen). Integrasi ini diperlukan agar setiap
anggota aksara Jawa memiliki kode yang khas dan diakui di seluruh
dunia.
Jeroen
Hellingman mengajukan proposal untuk mendaftarkan aksara ini ke
Unicode pada pertengahan tahun 1993 dan Maret 1998. Selanjutnya,
Jason Glavy membuat “font” aksara Jawa yang diedarkan secara bebas
sejak 2002 dan mengajukan proposal pula ke Unicode. Di Indonesia
Ermawan Pratomo membuat font Hanacaraka pada tahun 2001,Teguh Budi
Sayoga pada tahun 2004 telah membuat font aksara Jawa untuk Windows
(disebut “Hanacaraka”) berdasarkan ANSI. Matthew Arciniega membuat
screen font untuk Mac pada tahun 1992 dan ia namakan “Surakarta”. Yang
terbaru adalah yang digarap oleh Bayu Kusuma Purwanto (2006), yang
dapat diekspor ke dalam html.
Baru
sejak awal 2005 dilakukan usaha bertahap yang nyata untuk
mengintegrasikan aksara Jawa ke dalam Unicode setelah Michael Everson
membuat suatu code table sementara untuk didaftarkan. Kelambatan ini
terjadi karena kurangnya dukungan dari masyarakat pengguna aksara ini.
Aksara Jawa Hanacara saat ini telah dirilis dalam Unicode versi 5.2
(tergabung dalam Amandemen 6) yang keluar pada tanggal 1 Oktober 2009.
Alokasi Memori Aksara Jawa (Javanese) pada Unicode 5.2.0 adalah di
alamat A980 sampai dengan A9DF.
Langganan:
Postingan (Atom)